
JAKARTA, lensakeadilan.com -Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengungkap, telah menetapkan seorang tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi pengadaan barang dan jasa di lingkungan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI).
“Sudah ada tersangka,”tegas Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Senin (23/06/2025).
Namun, publik masih harus bersabar. Identitas tersangka masih dirahasiakan, apakah berasal dari kalangan penyelenggara negara atau bukan. Penetapan ini menjadi babak baru dalam penyidikan yang telah lama berjalan senyap, namun kini mulai memperlihatkan titik terang.
Penyidikan yang digagas KPK ini menyoroti periode 2019 hingga 2021, di mana pengadaan barang dan jasa di lingkungan Sekretariat Jenderal MPR RI menjadi fokus utama. KPK pada Senin (23/06/2025) mulai memanggil dua saksi kunci Cucu Riwayati dan Fahmi Idris.
Cucu Riwayati adalah pejabat pengadaan barang/jasa pengiriman dan penggandaan di Setjen MPR RI pada 2020–2021. Sementara Fahmi Idris menjabat sebagai pejabat dalam kelompok kerja unit kerja pengadaan barang dan jasa (Pokja-UKPBJ) pada tahun 2020. Keduanya diperiksa secara intensif di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
“Pemeriksaan bertempat di Gedung Merah Putih KPK atas nama CR dan FI,”ujar Budi.
Meski hingga kini belum ada pernyataan resmi soal peran spesifik keduanya dalam skema gratifikasi, pemeriksaan terhadap mereka mengindikasikan pentingnya keterangan dari pihak internal Setjen MPR RI dalam mengurai benang kusut perkara ini.
Di tengah mencuatnya isu ini, Sekretaris Jenderal MPR RI, Siti Fauziah, buru-buru memberikan klarifikasi. Ia menegaskan bahwa para pimpinan MPR RI baik periode 2019–2024 maupun periode yang baru terpilih untuk 2024–2029 tidak terlibat dalam pusaran kasus ini.
“Tidak ada keterlibatan pimpinan MPR RI karena perkara tersebut merupakan tanggung jawab administratif dan teknis dari Sekretariat, atau dalam hal ini Sekretaris Jenderal MPR RI pada masa itu, yaitu Ma’ruf Cahyono,”tegas Siti dalam keterangan tertulis, Sabtu (21/06/2025).
Pernyataan ini seolah hendak membatasi dampak politik dari kasus hukum tersebut agar tidak menyeret lembaga secara kelembagaan, terlebih menjelang transisi masa jabatan dan konsolidasi politik di parlemen.
KPK menegaskan, perkara ini merupakan penyidikan baru, menandai dimulainya babak hukum baru terhadap dugaan praktik lancung dalam tubuh birokrasi MPR RI.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, setiap penyidikan baru bukan sekadar penegakan hukum, melainkan sinyal kuat bahwa lembaga antirasuah tidak akan berhenti meski yang disasar adalah institusi tinggi Negara.
Kini, publik menanti transparansi penuh. Siapa sosok tersangka di balik dugaan gratifikasi ini? Apakah akan terbongkar jejaring lebih luas yang mengakar? Atau akan berhenti pada level administratif?
Yang pasti, langkah KPK ini menegaskan bahwa aroma busuk korupsi tidak mengenal bata bahkan hingga ke jantung konstitusi negeri. [**/GRW]