
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (rep)
Jakarta, lensakeadilan.com – Dua karyawan swasta, Rosul Siregar dan Maksum Harahap, menggugat Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Nomor 7 Tahun 2021 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan ini menargetkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh yang memasukkan uang pesangon, pensiun, Tunjangan Hari Tua (THT), dan Jaminan Hari Tua (JHT) sebagai objek pajak dengan tarif progresif, yang dianggap merugikan hak dasar pekerja dan bertentangan dengan UUD 1945.
Sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 170/PUU-XXIII/2025 telah digelar di Ruang Sidang MK (Mahkamah Konstitusi) , Jakarta, pada Senin (6/10/2025) lalu yang dilansir dari Disway.id.
Saat itu para pemohon meminta MK membatalkan ketentuan tersebut, dengan alasan pajak ini “menyakiti hati” pekerja yang telah memotong pajak selama puluhan tahun melalui gaji mereka.
Melalui kuasa hukumnya, Ali Mukmin, mereka menyoroti bahwa Pasal 4 ayat (1) UU PPh mendefinisikan objek pajak sebagai “setiap tambahan kemampuan ekonomis” yang mencakup gaji, upah, bonus, hingga uang pensiun.
Sementara Pasal 17 menerapkan tarif progresif hingga 35 persen untuk pesangon dan pensiun yang dibayarkan sekaligus.
“Pajak pesangon, pajak pensiun, itu sudah puluhan tahun dikumpulkan oleh para pekerja, tiba-tiba disamakan dengan PPh progresif,” tegas Ali Mukmin dalam sidang.
Para pemohon mengklaim ketentuan ini melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang perlindungan hukum yang adil, Pasal 28H ayat (1) tentang hak atas jaminan sosial, serta Pasal 34 ayat (2) tentang hak negara memastikan kesejahteraan rakyat.
Rosul Siregar, yang memasuki pensiun Oktober 2025, dan Maksum Harahap khawatir bekal pensiun mereka tergerus pajak signifikan, meski dana itu berasal dari iuran yang sudah dikenai pajak selama bekerja.
Mereka memohon MK: (1) menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat; (2) memerintahkan pemerintah tidak memungut pajak atas pesangon, pensiun, THT, dan JHT bagi pegawai swasta maupun negeri; (3) memerintahkan pembentuk UU menyesuaikan sistem perpajakan agar selaras konstitusi.
Meski ada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 yang mengatur PPh Pasal 21 final atas pesangon dengan batasan tidak kena pajak (misalnya hingga Rp50 juta bebas pajak), penggugat menilai tarif progresif Pasal 17 tetap memberatkan untuk jumlah besar.
Contohnya, untuk pesangon Rp180 juta, pajak bisa mencapai Rp14,5 juta setelah dikurangi batas bebas.
Hal ini kontras dengan iuran dana pensiun yang dikecualikan dari objek pajak berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf g UU PPh.
Para pemohon berharap putusan MK jadi preseden untuk lindungi hak pensiun, selaras visi Indonesia Emas 2045.
“Persepsi DPR dan pemerintah yang anggap pesangon sebagai tambahan kemampuan ekonomis sangat menyakiti hati para pekerja,” pungkas Ali Mukmin.
Gugatan ini mencerminkan keresahan luas pekerja swasta di tengah reformasi perpajakan pasca-UU HPP, yang bertujuan perbanyak basis pajak tapi dianggap mengabaikan kesejahteraan pensiunan.
MK dijadwalkan sidang lanjutan untuk mendengar respons pemerintah.
Kasus ini berpotensi ubah tata cara pemotongan PPh Pasal 21 bagi pensiunan, seperti diatur PP Nomor 68 Tahun 2009.(***)