
SORONG, lensakeadilan.com – Peran jurnalis dinilai krusial dalam memberitakan perubahan iklim di Tanah Papua, di tengah dominasi konsumsi konten hiburan.
Dalam Diskusi Tematik “Aksi Iklim Berkeadilan di Tanah Papua” berlangsung di Auditorium Drs. Lambert Jitmau, Kantor Wali Kota Sorong, Senin (21/07/2025).
Diskusi ini menjadi bagian dari Climate Champion Festival yang melibatkan 20 jurnalis dari berbagai media dan akan berlangsung selama tiga hari.
Febrilia Ekawati, Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS) dalam sambutannya menekankan, peran jurnalis sangat krusial dalam memperluas narasi publik mengenai perubahan iklim.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan dari atas. Jurnalis memiliki peran strategis untuk menyuarakan aksi-aksi lokal yang dilakukan masyarakat adat, komunitas muda, dan kelompok perempuan di Tanah Papua. Mereka adalah penjaga bumi, tapi suara mereka sering kali tidak terdengar,”ujar Febrilia, yang juga menjadi moderator diskusi.
Diskusi ini menggali bagaimana media bisa memainkan peran kunci dalam menyuarakan keadilan iklim, dan menyoroti praktik baik yang sudah dilakukan secara lokal namun jarang mendapat tempat di ruang publik.
Diskusi juga menghadirkan Koordinator Program Voice for Climate Action (VCA) Tanah Papua dari WWF Indonesia, Zacharias A. Inaury yang memaparkan pentingnya pengelolaan pengetahuan lokal dalam aksi perubahan iklim.
“Selama lima tahun VCA Tanah Papua berjalan, kami melihat betapa pentingnya media sosial dan jurnalisme warga dalam menyebarluaskan kisah-kisah lokal tentang keadilan iklim. Kami melatih komunitas, pemuda adat, dan kelompok perempuan agar mereka bisa menyampaikan sendiri pengalaman dan strategi adaptasi mereka melalui media digital,”kata Zacharias.
Ia menegaskan, pendekatan keadilan iklim yang dilakukan melalui VCA bertujuan agar masyarakat sipil, khususnya yang termarjinalkan, bisa berperan sebagai penggerak utama solusi iklim yang berkelanjutan.
“Suara masyarakat adat harus hadir dalam ruang-ruang pengambilan keputusan. Jika mereka tak dilibatkan, maka solusi iklim tidak akan menyentuh akar persoalan,”katanya.
Mengenal VCA Indonesia, ‘Mendorong Suara Lokal sebagai Solusi Iklim Voice for Climate Action (VCA)’ adalah program kerja sama internasional selama lima tahun di bawah skema Power of Voices dari Kementerian Luar Negeri Belanda.
Di Indonesia, program ini dijalankan oleh berbagai organisasi mitra, termasuk WWF-NL, SouthSouthNorth (SSN), Akina Mama wa Afrika, Fundacion Avina, dan C4Ledger, yang melibatkan jaringan seperti KONSEPSI NTB, LP2M Padang, YKWS Lampung, Bengkel APPEK Kupang, dan lainnya.
Pendekatan VCA didasarkan pada prinsip inklusi, keadilan, dan pengakuan terhadap pengetahuan lokal. Melalui jaringan Inclusiveness Climate Management Network (Inclick-Mnet), program ini mendorong penciptaan ruang sipil yang terbuka agar komunitas akar rumput, terutama masyarakat adat dan kelompok perempuan, bisa terlibat aktif dalam pengambilan kebijakan iklim.
“Masalahnya, solusi iklim saat ini masih terlalu elitis, terlalu teknokratik, dan melupakan suara komunitas. Padahal, banyak pengetahuan lokal yang telah terbukti ampuh menghadapi krisis iklim, namun tidak diakui sebagai bagian dari ilmu pengetahuan resmi,”jelas Febrilia.
Jurnalis Tribun Papua Barat sekaligus anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Safwa Ashari Raharusun menambahkan bahwa keberpihakan media kepada kelompok rentan sangat diperlukan agar kebijakan publik lebih berpihak.
“Jurnalisme itu alat advokasi. Informasi yang kita dapat dari komunitas, warga, dan masyarakat adat bukan hanya untuk berita, tapi menjadi bahan pengaruh bagi kebijakan,”kata Safwa.
Ditambahkannya, para jurnalis membutuhkan dukungan masyarakat sipil, dan sebaliknya, masyarakat sipil juga membutuhkan jurnalis untuk menyuarakan fakta-fakta di lapangan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dan dampak perubahan iklim.
Kesimpulan diskusi hari itu jelas, ‘perubahan iklim bukan hanya persoalan data dan grafik, tetapi sudah menjadi kenyataan hidup yang sudah dihadapi masyarakat adat dan komunitas lokal di Tanah Papua setiap hari’.
“Jurnalis dan media diharapkan menjadi penyambung lidah mereka agar suara dari hutan, dari kampung kampung, bisa menggema sampai ke meja kebijakan.
Jangan biarkan praktik baik itu terkubur di kampung-kampung. Tugas kita adalah menyuarakannya, mengangkatnya ke permukaan,”pungkas Akhyar Hananto. [**/GRW]