
JAKARTA, lensakeadilan.com – Langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia meneken nota kesepahaman (MoU), dengan empat operator seluler terkait penyadapan menuai sorotan dari Komisi III DPR RI.
Legislator menilai, kerja sama tersebut belum memiliki payung hukum yang sah karena belum adanya Undang-Undang khusus penyadapan sebagaimana diamanatkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Penegasan ini disampaikan anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, yang mengacu pada Putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010. Dalam putusan tersebut ditegaskan, praktik penyadapan hanya dapat dilakukan jika telah diatur melalui undang-undang khusus.
“Putusan MK itu sudah sangat jelas. Sampai saat ini, UU Penyadapan belum ada. Maka dari itu, pelaksanaan penyadapan oleh Kejaksaan harus ditunda sampai aturan itu terbentuk,”ujar Nasir dalam keterangannya, Minggu (29/006/2025).
Nasir juga menyinggung, Pasal 30C dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa kejaksaan memang memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan. Namun, kewenangan tersebut baru dapat dilaksanakan jika sudah ada regulasi spesifik yang mengaturnya.
“Dulu ada kesepahaman antara pemerintah dan DPR bahwa implementasi Pasal 30C harus menunggu UU Penyadapan. Ini menjadi catatan penting,”tambah politisi dari Fraksi PKS itu.
Komisi III pun berencana memanggil pihak Kejaksaan Agung untuk dimintai keterangan lebih lanjut terkait nota kesepahaman dengan PT Telkom, Telkomsel, Indosat, dan XLsmart Telecom Sejahtera. Pemanggilan ini direncanakan berlangsung awal Juli 2025.
“Mudah-mudahan dalam waktu dekat Kejaksaan bisa hadir, untuk memberikan klarifikasi. Kami tidak ingin ada multitafsir dalam penegakan hukum, apalagi menyangkut hak asasi,”tegas Nasir.
Sementara Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel), Reda Manthovani menyatakan, nota kesepahaman tersebut merupakan bagian dari upaya optimalisasi penegakan hukum, terutama dalam hal pengumpulan dan pengolahan data.
“Intelijen kejaksaan fokus pada pengumpulan informasi yang akan dianalisis dan digunakan untuk mendukung proses hukum. Kerja sama ini penting, terutama untuk pelacakan DPO dan pengembangan analisis hukum,”ujar Reda, dikutip Kamis (26/06/2025).
Reda juga menyebut, kerja sama ini tidak hanya mencakup pertukaran data, tetapi juga pemasangan perangkat penyadapan dan penyediaan rekaman telekomunikasi.
Menanggapi kekhawatiran publik, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar menegaskan, lembaganya akan menjalankan kerja sama tersebut secara hati-hati dan tetap sesuai dengan koridor hukum.
“Penyidik sangat memerlukan akses informasi untuk melacak DPO. Kerja sama ini menjadi salah satu solusi untuk percepatan pencarian,”jelas Harli.
Meski demikian, sejumlah pengamat dan anggota legislatif tetap menuntut adanya regulasi yang lebih komprehensif guna melindungi hak privasi masyarakat dan mencegah penyalahgunaan wewenang. [**/GRW]
FOTO: anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil//ISTIMEWA